Sabtu, 19 Januari 2013

PERJALANAN KE KOTA LUBUK BASUNG 

Hari sudah menunjukkan pukul 11 ketika Kami sampai di Jorong Siguhung, Nagari Bula'an, Lubuk Basung. Sejenak kami melepas lelah, guna melanjutkan perjalanan ke Danau Maninjau. Danau terbesar kedua di Sumatera Barat. Sekitar pukul 2 siang kami menuju Danau Maninjau. Namun cuaca tidak mendukung kami. Ketika sedang dalam perjalanan, rintik-rintik hujan tiba-tiba datang. Kami terpaksa berputar arah menuju Sungai Tampang. Kami sedikit merasa kecewa, inilah gambar danau Maninjau yang bisa Kami ambil.


Danau Maninjau dilihat dari Sungai Tampang   

Hari kedua, Kami kembali ke Maninjau, dengan harapan cuaca bagus. Sesampai di Bayua, Kami berhenti sejenak guna melihat Masjid Agung Bayua yang terkenal dengan arsitekturnya yang megah. Begitu megahnya sehingga membuat Kami ingin mengabadikan masjid yang megah ini.
 
Masjid Agung Bayua, Maninjau

Kami melanjutkan perjalanan kembali menuju Kelok 44. Karena cuaca yang sedikit gelap dan jarak yang cukup jauh, Kami hanya bisa mencapai Kelok 3. Pemandangan danau Maninjau dari kelok 3 cukup bagus. Sejauh mata memandang, tampak hamparan danau disertai tambak ikan di pinggiran danau. Namun sayang, akibat tertutup kabut, KAmi tidak bisa melihat gugusan perbukitan di sekitar Danau Manainjau.      
 
Danau Maninjau dilihat dari Kelok 3, Maninjau

Ketika dalam perjalanan, Kami melihat sebuah masjid yang bercirikan masjid tua dengan latar belakang danau Maninjau. Begitu indahnya.
 

 Masjid Jami' Al Ihsan Gasang, Maninjau
 
Sungguh perjalanan yang menyenangkan. Jika ke Maninjau, jangan lupa mencoba pensi dan rakik rinuak. Ketika Kami akan pulang ke Padang, Kami berhenti sejenak di daerah Banda Baru. Di sana terdapat satu-satunya rumah gadang  yang terdapat di Lubuk Basung. Kami kembali mengambil gambar rumah tersebut. 
 
 Rumah Gadang Banda Baru, Lubuk Basung

Ada satu keunikan di Lubuk Basung. Di dekat Pasa Usang, terdapat Kampung Sarimanis Kecamatan Aur Malintang. Uniknya, daerah ini merupakan daerah yang termasuk wilayah Padang Pariaman. Padahal wilayah sekitarnya  termasuk wilayah Agam dan akses ke Lubuk Basung lebih dekat daripada ke Padang Pariaman. Ini merupakan foto yang dapat Kami ambil di jembatan Rajang yang terletak di kawasan Sarimanis.
 
Jembatan Rajang, Batang Antokan, Sarimanis

Dalam perjalanan ke Padang, sekitar pukul  9.45 Kami sampai di Kota Pariaman. Kami menyempatkan diri untuk melihat Pusat Konservasi Penyu di Pariaman. Penyu yang ditangkarkan adalah jenis penyu hijau, penyu sisik, dan lekang. Pusat konservasi ini dibangun pada tahun 2007, sampai sekarang masih dalam tahap pembangunan. Ini merupakan foto yang bisa kami ambil.

  Pusat Konservasi Penangkaran Penyu, Kota Pariaman

Sekitar pukul 12 siang Kami sampai di Kota Padang, kota tercinta ku jaga dan ku bela. Sekian........ 
 
 
 

Rabu, 16 Januari 2013

SEJARAH YANG HAMPIR TERLUPAKAN


Jam  menunjukkan pukul 11 siang ketika Kami sampai di Lubang Jepang kawasan Bukit Lampu Kota Padang. Sejauh mata memandang, hamparan laut biru disertai dengan kapal-kapal yang terparkir di tengah laut. Sungguh pemandangan yang menakjubkan. Tiba di Lubang Jepang, hanya tersisa bunker tua dan meriam tua yang kondisinya cukup memprihatinkan. Banyak coretan-coretan di dinding bunker yang membuat nilai sejarahnya menjadi berkurang. Serta baut-baut penyangga meriam yang sudah tidak ada lagi. Hanya onggokan kayu yang menjadi penyangga meriam agar tidak rubuh. Menurut sejarah, sesampainya di Padang balatentara Jepang membangun banyak sekali tempat persembunyian di bawah tanah (bunker) di sekitar Kuranji, Padang Besi, Indarung, dan Gunung Padang. Yang terbesar di Bukittinggi. Jepang membuat tempat persembunyian di bawah tanah yang biasa disebut “Lobang Jepang” di sekitar Ngarai Sianok, Bukittinggi. Banyak sekali penduduk lokal yang tewas menggenaskan waktu kerja paksa membuat lobang dan terowongan ini.

Bunker  Jepang di kawasan Bukit Lampu
 
Tidak jauh dari bunker, terdapat Mercusuar dan Lubang Jepang. Zulkarnain (41) salah satu petugas Navigasi Mercusuar menjelaskan bahwa mercusuar ini telah ada sejak zaman penjajahan Belanda yang digunakan untuk memantau sistem navigasi kapal. Setelah Belanda pergi dari Kota Padang, mereka meninggalkan Mercusuar ini berserta satu rumah. Kemudian masuklah penjajah baru dari negara Jepang dan mengambil alih kawasan ini. Pada masa penjajahan Jepang tepatnya saat Perang Dunia II. Mercusuar ini selain untuk mengawasi kawasan perairan Teluk Bayur juga digunakan untuk sistem pertahanan dengan membangun benteng dan lubang-lubang pertahan bagi tentara Jepang. Mecusuar ini sempat hancur akibat di bom saat perang dengan tentara Inggris. Padalah menurut peraturan internasional kawasan navigasi seperti ini sama halnya dengan kawasan dengan tim medis yang berada pada daerah putih atau damai. Namun dari kelicikan penjajahan Jepang itu, mereka menembak kapal-kapal yang diduga musuh saat memasuki teluk Bayur sehingga wajar saja jika dihancurkan oleh tentara Inggris. Saat ini puing-puingnya masih terlihat di depan Mercusuar baru. Belanda atau Jepang memang sudah merencanakan untuk menguasai Kota Padang sehingga wajar saja banyak peninggalan zaman penjajahan. Pada massa pemerintahan Presiden Soeharto, mercusuar ini dipugar kembali dari Proyek Pelita Nasional tahun 1974/1975 yang dilaksanakan oleh CV. Ubani Padang dan diresmikan oleh Dirjen Perla pada tahun 1975.  
 
 
Beberapa kilometer dari Bukit Lampu, terdapat Benteng Pilboks yang terletak dikawasan Gunung Padang. Gunung Padang berlokasi di dekat muara, Pantai Padang. Orang-orang sekitar mengenal pula Gunung Padang sebagai “Bukit Siti Nurbaya”. Benteng Pilboks dibangun Jepang pada kurun 1942-1945 sebagai benteng pertahanan Jepang ketika menaklukan kota Padang. Benteng ini berbentuk macam-macam, ada yang persegi empat, poligon, dan berbentuk huruf L. Ada 9 buah Pilboks yang tersebar di pinggang hingga puncak Gunung Padang. Namun Pilboks 2 sudah tidak ada lagi karena telah diratakan dengan tanah untuk jalan penduduk. Pilboks 3 bentuk dasar poligon dengan luas 50 m2. Di dasar benteng ini terdapat satu buah meriam besar yang moncongnya keluar dari lobang bidik di sisi Timur benteng. Bidikan meriam dirahkan tepat ke arah laut pantai Purus, Padang.
 
Bunker Jepang dan meriam di kaki Gunung Padang




Bunker yang masih utuh di kaki Gunung Padang

Jika bunker tersebut diperbaiki dan dijaga, maka tidak menutup kemungkinan akan banyak masyarakat yang datang ke sana. Jangan sampai, bangunan yang menjadi saksi bisu pendudukan Belanda dan Jepang, menjadi  sia-sia dan hancur di makan usia. Kota Padang yang telah berusia ratusan tahun tidak bisa dipisahkan dari sejarah kotanya sendiri. 

Referensi:
  1. http://wawasanproklamator.com/artikel/47/melihat-mercusuar-berlubang-jepang-di-padang.html
  2. http://thearoengbinangproject.com/2011/11/bunker-jepang-gunung-padang/
  3. http://sejarah.kompasiana.com/2012/12/08/benteng-pilboks-saksi-bisu-kegesitan-jepang-515019.html
 
   

Minggu, 30 Desember 2012

DIPERDAYA KEINDAHAN BUKIT KABA
(oleh wartawan KOMPAS Haryo Damardono

Kulit tergores dahan pohon, celana dikotori lumpur, dan napas hampir putus ketika Kompas tiba di puncak Taman Wisata Alam Bukit Kaba, di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu. Kami diperdaya keindahan Bukit Kaba. Namun, meski bukit itu indah, tapi lebih indah lagi bila tak harus berjibaku menuju ke sana....

Mungkin, pembiaran terhadap Bukit Kaba, dipicu kepemilikan Hutan Wisata Bukit Kaba seluas 13.490 hektar ditangan pemerintah pusat. Boleh jadi, karena tak merasa memiliki, Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong tak memedulikannya.

Kami berangkat menuju puncak Bukit Kaba, berbekal informasi positif. “Menuju puncak Bukit Kaba, dapat naik mobil. Perjalanannya mudah, tempatnya bagus dapat langsung lihat kawah,” kata seseorang di Warung Pindang Patin di Curup, ibu kota Kabupaten Rejang Lebong; saat Tim Jelajah Musi 2010 singgah di sana.
Kami pun melesat, meninggalkan Curup lewat jalan nasional arah Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Lalu 15 kilometer dari Curup, berbelok kanan di Desa Sumber Urip, setelah bertanya berulang kali karena tiada papan petunjuk arah. Setelahnya, di jalan desa itu kami kembali harus bertanya supaya tak tersesat.
Dan perjalanan memburuk, setelah mobil kandas di jalan desa yang berlubang kira-kira lima kilometer dari puncak Bukit Kaba. “Dulu jalan ini bagus, lalu rusak oleh diesel (truk) pengangkut sayur,” kata M Yusuf, warga Karang Jaya, Kecamatan Selupu Rejang.
Mobil pun ditinggal di tepi jalan, lantas motor ojek disewa. Tarifnya Rp 60.000 pulang pergi. Meski jalan rusak, motor itu dikebut. Bahkan karena aspal berlumut, tiga kali motor jatuh di tepi jurang sedalam ratusan meter. Dua kali pula, kami mendorong motor lewat longsoran.
Akhirnya, kami tetap jalan kaki ke puncak, karena longsoran terakhir menutup badan jalan.
Setiba di puncak setinggi 1.936 meter di atas permukaan laut itu, kami berkelakar soal nama. Seharusnya, Taman Wisata Alam itu tak dinamai Bukit Kaba tapi “Bukit Baka”. Sebab, kami nyaris “bermigrasi” ke alam baka sebelum tiba di sana.

Infrastruktur buruk
Sebenarnya, Bukit Kaba sangat-sangat berpotensi menjadi wisata andalan. Indahnya Bukit Kaba, jujur saja, sebanding Gunung Bromo di Jawa Timur dan Gunung Tangkuban Perahu di Jawa Barat. Kawah vulkanik adalah pemandangan andalan di sana.
Dan bila di Gunung Bromo ada ratusan anak tangga menuju puncak, di Bukit Kaba juga ada “tangga seribu” untuk mencapai bibir puncak kawah. Dari puncak Bukit Kaba terhampar pula pemandangan Kabupaten Rejang Lebong, dan Curup, kota kopi itu.
Ada kalanya, kabut tebal menutup pemandangan ke hamparan kebon-kebon kopi. Tapi kabut disertai hawa dingin, adalah sebuah sensasi tersendiri bagi wisatawan dari kota, terutama dari kota pesisir.
Jadi ketika Gunung Bromo dan Tangkuban Perahu berjaya, mengapa Bukit Kaba meredup? Titik lemahnya adalah, buruknya infrastruktur, tak ada angkutan massal seperti oplet atau mobil travel, tiada promosi, serta gagalnya membentuk pusat pertumbuhan ekonomi baru.
Dulu, mobil bergardan ganda dapat mencapai puncak, kini naik motor pun sulit. Jalan aspal selebar 3-4,5 meter itu masih ada, tapi tertutup semak belukar dengan hanya menyisakan 20 sentimeter aspal. Singkat kata, bukit itu ditelantarkan.
Lantas, jangankan promosi di mancanegara, untuk menuju Bukit Kaba dari Curup saja wisatawan kerap tersesat. Padahal, andai Bukit Kaba mudah dijangkau dan ramai, tak mustahil penduduk di desa-desa terdekat beroleh manfaat ekonomi. Penduduk dapat nembuka restoran, menyewakan kamar (home stay), menjual cendera mata, atau sekadar menjadi pemandu wisata.
Mengapa pula tidak terpikir mendirikan kafe-kafe di puncak Bukit Kaba, dengan sajian utama kopi rejang lebong? Mengapa kafe menjadi penting, sebab walaupun penduduk setempat bangga hidup di sentra kopi, tapi sulitnya mencari kafe atau kedai kopi “yang layak” di Curup.

Berpikir bisnis
Mungkin, “pembiaran” terhadap Bukit Kaba dipicu kepemilikan Hutan Wisata Bukit Kaba seluas 13.490 hektar di tangan pemerintah pusat. Boleh jadi, karena tak merasa memiliki, Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong tak memedulikannya.
Padahal, andai kata Pemkab Rejang Lebong jeli, cukup dibangun infrastruktur dasar yang baik di sana, seperti jaringan jalan, jaringan air minum, hingga menara telekomunikasi sehingga sinyal mudah didapat. Toh nantinya, bila infrastruktur dasar memadai, akan ada swasta yang membangun berbagai fasilitas pendukung di kawasan penyangga Bukit Kaba.
Ketika klaster ekonomi baru tumbuh di sana, selain pemasukan dari pajak seperti pajak bumi dan bangunan, pajak restoran, dan pajak penghasilan; pemda terbantukan dengan potensi penyerapan tenaga kerja. Artinya, tak harus dipersoalkan siapa pemilik Bukit Kaba! Bangun segera infrastruktur di sana.
Jadi Tuan Bupati, kami menunggu dibenahinya Bukit Kaba. Sebab, karena indahnya, kami memang berniat kembali, meski tak ingin lagi bermain dengan maut. Lantas, indahnya Bukit Kaba sepatutnya meningkatkan taraf hidup warga setempat. Bukit seindah itu, singkatnya tak layak dikelilingi oleh desa-desa yang hidupnya belum sejahtera….
Sumber: Kompas, 9 Maret 2010